Minggu, 22 Juli 2012

JANGAN BERBUKA PUASA DENGAN YANG MANIS





Bulan Ramadhan telah tiba, dan pastinya kita sering mendengar ‘Berbuka puasalah dengan makanan atau minuman yang manis,’ katanya. Konon, itu dicontohkan Rasulullah saw. Benarkah demikian?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berbuka dengan kurma, kalau tidak ada dengan air putih, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman,

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsa kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan kebahagiaanmu), terhadap orang-orang mukmin ia amat pengasih lagi penyayang.” (QS At Taubah: 128).

Dengan memberi sesuatu yang manis (kurma) pada perut yang kosong, maka tubuh akan lebih siap menerima dan mendapatkan manfaatnya, terutama tubuh yang sehat, akan bertambah kuat dengannya. Dan bahwasanya puasa itu menghasilkan keringnya tubuh, maka air akan membasahinya, hingga sempurnalah manfaat makanan.
Dan ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba’ / mengikuti.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).
Nah. Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat kurma, beliau berbuka puasadengan air. Samakah kurma dengan ‘yang manis-manis’? Tidak. Kurma, adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate). Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).
Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’. Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.
Dari dulu saya tergelitik tentang hal ini, bahwa berbuka puasa ‘disunnahkan’ minum atau makan yang manis-manis. Sependek ingatan saya, Rasulullah mencontohkan buka puasa dengan kurma atau air putih, bukan yang manis-manis.
Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis. Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan (data di sini dan di sini). Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa ‘manisan kurma’ (preserved with sugar), bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan ekspornya. Jadi, kalau mau mengikuti sunnah Rasulullah, sebisa mungkin carilah kurma segar yang tanpa ditambahkan kandungan gulanya. Caranya? Nggak tau. Metik dari pohonnya, kali?
Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?
Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.
Mari kita bicara ‘indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.
Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari mereka.
Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya), sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.
Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada seorang sufi yang diberi Allah ‘ilm tentang urusan kesehatan jasad manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau. Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia adalah ‘manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.
Kenapa nasi? Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks. Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.
Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa.
Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti ‘buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis-manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya malah menyehatkan kita. Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya ‘rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.’

Tidak ada komentar: